BPJPH Masih Sertifikasi Produk Halal
KMA no 982 menyebutkan biaya sertifikasi halal mengacu pada standar yang selama ini diberlakukan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia LPPOM selama Menteri Keuangan (Menkeu) mengaturnya. Data BPJPH, sampai 7 Desember 2019, sudah ada 154 perusahaan yang mengajukan layanan sertifikasi halal, baik permohonan baru maupun perpanjangan. Hasil verifikasi tahap awal oleh BPJPH sudah dikirim ke LPPOM MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal untuk dilakukan tahapan berikutnya. Undang-Undang (UU) 33 tahun 2014 menyebutkan sertifikasi halal bersifat wajib bagi barang dan/jasa yang masuk dan beredar di Indonesia. UU ini memberi kewenangan pemeriksaan produk kepada Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Selain itu mengatur bahwa LPH bisa didirikan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat, kampus, baik Perguruan Tinggi Negeri maupun Perguruan Tinggi Keagaman Islam Negeri, dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. PMA no 26 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal menyebutkan syarat pendirian LPH adalah memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya. Kemudian, lembaga itu harus memiliki akreditasi dari BPJPH, memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium. LPH juga didirikan oleh masyarakat melalui lembaga keagamaan Islam berbadan hukum juga harus menyertakan keputusan pengesahan pendirian yayasan atau perkumpulan. Indonesia baru memiliki satu LPH, yaitu LPPOM MUI. LPH selain LPPOM MUI belum terbentuk, karena 226 auditor yang disiapkan oleh BPJPH belum diuji oleh LPPOM MUI. “Kami sudah bersurat ke MUI, meminta dilakukan uji kompetensi bagi calon auditor halal "Sesuai Keputusan Menaker Nomor 266 tahun 2019 tentang SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional),” papar Sukoso/ BPJPH sudah mendidik 226 calon Auditor Halal, jika tiap LPH minimal 3 auditor, maka diharapkan ke depan akan bisa berdiri 79 LPH. (mam)