Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Dede Yusuf Sebut Ada Dilema Alokasi Anggaran Pendidikan 20 Persen

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi. (gemapos/DPR RI)
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi. (gemapos/DPR RI)

Gemapos.ID (Jakarta) - Komisi X DPR melalui Panja Pembiayaan Pendidikan menggelar agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan sejumlah pemangku kepentingan pendidikan, baik tingkat pusat dan daerah guna menyerap wawasan dan aspirasi terkait polemik terkait alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan nasional. Harapannya, Komisi X DPR melahirkan seperangkat rekomendasi yang cespleng.

Hal tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi saat membuka Rapat Dengar Pendapat Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI dengan pimpinan  Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, Universitas Riau, Universitas Nusa Cendana NTT, ISI DIY dan ISBI Bandung, Politeknik Negeri Semarang, Politeknik Negeri Sriwijaya, dan Universitas Terbuka di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/6/2024).

Perlu diketahui, maraknya UKT yang naik fantastis pada tahun 2024 usai terbitnya Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024, menyibak polemik terkait alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan nasional. Satu di antaranya adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendapatkan porsi 15 persen setara Rp98,99 triliun dari anggaran pendidikan nasional tahun 2024 yang sebesar Rp665,02 triliun.

Dari kebijakan tersebut, terlihat nyata bahwa terjadi kesenjangan dalam penyaluran anggaran pendidikan nasional. Kesenjangan tersebut, baik anggaran yang dialokasikan untuk Kemendikbudristek maupun yang tersebar di beberapa kementerian/lembaga. Oleh karena itu, Komisi X DPR RI berkomitmen agar alokasi anggaran pendidikan tersebut sepenuhnya diberikan kepada institusi yang berkaitan dengan pendidikan.

“Kami tentu melihat (isu) ini dilema. Di satu sisi, kita menghadapi bonus demografi tapi kita hanya punya waktu 20 tahun untuk merancang bonus demografi ini menuju kepada sumber daya manusia yang unggul. Namun coba lihat, (survei) PISA kita masih jauh daripada harapan dan angka perguruan tinggi kita atau kita sebutnya sebagai angka partisipasi masyarakat kita terhadap pendidikan tinggi juga masih berkisar di antara 33 persen,” ungkap Dede di hadapan forum.

Tidak hanya soal anggaran saja, terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 menyebabkan perguruan tinggi didorong untuk menjadi komersial karena adanya tuntutan untuk bisa memperoleh pendanaan pendidikan mandiri. Hal ini berdampak kepada para mahasiswa yang semakin berat membayar UKT yang naik fantastis.

Jika tidak ada intervensi, akses pendidikan untuk publik menjadi terbatas. Khawatir dengan situasi tersebut, Dede berharap setiap pemangku kepentingan pendidikan menyampaikan masalah di lapangan sekaligus masukan untuk bahan pertimbangan Komisi X DPR dalam menyusun rekomendasi kepada pihak pemerintah.

“Kami tidak mau mencari jarum di atas jerami tetapi kami ingin mendengar pandangan dari para pimpinan-pimpinan (pendidikan tinggi), kira-kira seperti apa sih proses menjalankan pendidikan tinggi sehingga akhirnya kita melihat ada angka biaya kemahalan yang terjadi. Saya perlu sampaikan, kami juga menerima masukan (untuk bahan pertimbangan panja),” pungkas Politisi Fraksi Partai Demokrat itu. (ns)