Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Timpang Hukum dan Diskon Vonis

ilustrasi (gemapos)
ilustrasi (gemapos)

Potret penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah kembali ditunjukan dalam praktik penegakkan hukum di Indonesia. Terutama dalam proses menindak terpidana korupsi dengan jumlah yang sangat besar yang dilakukan oleh pejabat tinggi. Para pejabat korup di negeri ini masih menjadi pemenang di tengah tinggi harapan publik terhadap penindakan kasus korupsi. Jadi koruptor sepertinya memiliki keuntungan tersendiri. Mirisnya, selama pejabat korup tersebut sudah mengembalikan duit panas hasil memeras, maka vonis hukuman bisa saja diberi diskon bahkan hingga 50 persen oleh majelis hakim.

Kondisi ini dibuktikan dalam kasus yang dialami oleh Anggota III nonaktif Badan Pemeriksa Keuangan 2019-2024 Achsanul Qosasi. Dirinya didakwa menerima suap senilai US$2,64 juta atau setara dengan Rp40 miliar untuk mengondisikan pemeriksaan proyek BTS 4G 2021 agar tetap aman dan dianggap sesuai dengan apa yang seharusnya.

Dalam kasus tersebut, Jaksa menuntut Achsanul 5 tahun penjara serta membayar denda Rp500 juta. Angka yang sejatinya sangat kecil dibandingkan dengan kerugian material dan immaterial yang ditimbulkan akibat kasus tersebut. Mengejutkannya, ketua majelis hakim Fahzal Hendri dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Kamis (20/6) kemarin, justru hanya menjatuhkan vonis 2,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta.

Vonis yang lebih rendah daripada tuntutan itu dijatuhkan dengan alasan uang suap senilai Rp40 miliar tersebut sudah dikembalikan oleh Achsanul pada tahap penyidikan. Achsanul juga dianggap telah menyesali perbuatannya karena menerima fulus secara tidak sah. Tentu alasan tersebut akan menimbulkan pertanyaan besar. Kenapa semudah itu diskon hukuman diberikan kepada mereka yang terlibat kasus kelas kakap dan merugikan negara beserta rakyat dengan jumlah fantastis?

Melihat putusan tersebut, tentu kita diingatkan dengan berbagai kasus kelas teri seperti pencurian sebatang kayu dan sendal jepit yang diputus dengan cepat dengan hukuman yang cukup lama. Kemudian ada pencuri telepon seluler yang dihukum 3 tahun 8 bulan. Kenapa bisa jauh berbeda?

Dengan logika paling dasarpun publik tentu menilai adanya ketidakadilan di sini. Kalau maling telepon seluler bisa dikenai vonis lebih berat daripada tuntutan, kenapa pejabat korupsi besar justru mendapat diskon dalam dan pengurangan hukuman? Bukankah seharusnya penjahat besar yang merugikan rakyat banyak dihukum lebih berat dan seberat-beratnya. Potret ketimpangan vonis menunjukan hukum tajam kebawah tumpul keatas.

Semua pihak tentu memahami tindkan korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang membutuhkan sanksi berat guna menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan juga mencegah pihak yang punya niat berbuat kejahatan yang sama. Jika perlakuan hukum semacam ini terus terjadi, maka koruptor akan tetap menjadi pemenang di negeri ini. Yang menjadi korban, tentu rakyat yang harus dirugikan dan dirampas hak-haknya.

Achsanul yang merupakan pejabat BPK seharusnya memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara terkait dengan proyek BTS 4G dan infrastruktur pendukungnya. Tentu agar program atau proyek tersebut sesuai dengan ketentuan dan aturan yang berlaku dan tidak ada kejanggalan dalam keuangan. Dan itu bisa termasuk dalam pencegahan perilaku korupsi.

Justru tindakan terdakwa Achsanul malah menyimpang. Dirinya malah menjadi pelaku kejahatan keuangan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, yakni berupa uang tunai US$2,64 juta.

Uang haram itu ia terima dari Direktur PT Multimedia Berdikari Sejahtera Windi Purnama dengan sumber uang dari Komisaris PT Solitech Media Sinergy Irwan Hermawan. Duit diberikan karena sudah mendapat perintah dari Direktur Utama BAKTI Anang Achmad Latif.

Ketiga nama itu, Windi, Irwan, dan Anang, juga menjadi terdakwa kasus BTS tersebut. Adapun Achsanul menjadi terdakwa ke-16 dalam kasus itu. Kasus tersebut tentu sangat merugikan rakyat. Tetapi vonis yang diterima Achsanul tidak ringan, tapi mengecewakan hati rakyat.

Publik sangat berharap Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melanjutkan pengusutan kasus besar ini. Masih ada pertanyaan apakah uang haram US$2,64 juta itu hanya dinikmati sendiri oleh Achsanul atau jangan-jangan juga mengalir ke institusi BPK dan lembaga lainnya. Tentu ini membutuhkan upaya dan keinginan besar dari penegak hukum untuk menjamin keadilan.

Nama-nama lain yang sempat tersebut di persidangan harusnya segera diperjelas. Seperti saksi mahkota di persidangan yang sempat menyebut Menpora Dito Ariotedjo menerima Rp27 miliar untuk membantu menyelesaikan pengusutan kasus dugaan korupsi BTS 4G di Kejagung.

Kejagung harus membuktikan bahwa tak ada yang kebal hukum di negeri ini. Penjahat kelas kakap harus dijerat hukuman berat. Jangan justru mendapat dikorting. Mereka harus dibuat jera karena telah merugikan rakyat dengan tindakan yang merugikan negara.