Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Ada yang Harus Disembelih dari Hati Kita

Ahmad Inung, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. (gemapos/kemenag)
Ahmad Inung, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam. (gemapos/kemenag)

Ada yang harus disembelih dari hati kita. Yaitu, nafsu kebinatangan yang mengeram dan memburamkan mata hati.

Jika manusia dilihat dari kelengkapan dan kemampuan fisiknya, kita hanyalah salah satu dari jenis binatang yang berjalan tegak dengan dua kaki. Bahkan, dalam beberapa hal, kita memiliki derajat yang lebih rendah. Kekuatan fisik kita kalah dengan gajah. Kemampuan lari kita kalah dengan citah. Kemampuan penglihatan kita kalah dengan elang. Kemampuan pendengaran kita kalah dengan anjing.

Seandainya seluruh kemampuan fisik istimewa dari makhluk binatang dikumpulkan pada satu orang manusia, apakah manusia tersebut akan menjadi mulia? Tentu tidak, sekalipun jika itu terjadi akan menjadi sebuah fenomena yang mengagumkan. Mengapa bisa seperti itu? Karena manusia memiliki standar kemuliaan yang berbeda dengan binatang.

Kemuliaan manusia ditentukan oleh ketaqwaannya. Manusia sebagai muttaqin (hamba yang bertakwa) adalah dia yang bernilai mulia di sisi Allah.

Siapakah muttaqin ini? Di dalam surah al-Baqarah dinyatakan bahwa muttaqin adalah mereka yang percaya pada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki dari Allah. Intinya, bahwa standar kemuliaan manusia adalah bertauhid, menjaga ketauhidannya dengan terus menjaga statusnya sebagai abid (hamba) yang beribadah kepada-Nya.

Tapi ini tidak cukup. Allah juga memerintahkan bahwa hamba yang muttaqin adalah mereka yang juga memiliki perilaku sosial yang baik. Di sinilah manusia dan binatang terbedakan.

Binatang akan memakan binatang lain yang lebih lemah. Binatang jantan akan menyingkirkan, bahkan membunuh, pesaingnya sekedar untuk bisa membuahi betina yang diinginkannya. Dia mungkin akan berbagi makanan, tapi hanya untuk gerombolannya. Standar kemuliaan binatang ditentukan pada kehebatan memangsa binatang lain di mana puncak piramida kemuliaan adalah siapa yang cakar dan taringnya paling mematikan.

Kebinatangan inilah yang harus kita bersihkan dari dalam diri kita. Sekali diri manusia dipenuhi dengan sifat-sifat kebinatangan, hidupnya akan diabdikan untuk memburu dan membunuh siapa saja.

Dalam sejarah panjang agama, di mana ekspresi terbenderangnya adalah berbagai praktik peribadatan, tidak jarang justru terjebak dalam perangkap nafsu dan perilaku kebinatangan. Karena Tuhan digambarkan sebagai Zat yang Maha Perkasa, yang bisa melakukan apa saja kepada manusia, peribadatan manusia kepada Tuhan bisa terperosok ke dalam mengorbankan manusia untuk Tuhan. Altar-altar persembahan dipenuhi dengan aliran darah dan persembahan daging untuk Tuhan. Yang hilang dari gambaran Tuhan ini adalah sifat rahman dan rahim-Nya.

Dalam Islam, Allah sejak awal memproklamasikan dirinya sebagai Dzat Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-hamba-Nya. Kita diminta Allah terus melafalkan dua sifat-Nya melalui bacaan bismillahi al-rahman al-rahim di setiap perilaku kita.

Perintah menyembelih binatang kurban adalah manifestasi dari ajaran kasih sayang ini. Cermin hati kita tidak bisa menangkap sifat rahman dan rahim Allah jika masih diburamkan oleh berbagai nafsu kebinatangan.

Hanya hamba yang telah menyembelih nafsu kebinatangan yang mengeram di hatinyalah yang akan bisa memenuhi hatinya dengan sifat-sifat ilahiah. Hamba yang hatinya dipenuhi sifat-sifat ilahiah akan terwujud ke dalam perilaku yang baik kepada sesama. Rasulullah berpesan, Takhallaqu bi akhlaqillah (Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah). Pesan ini senada dengan firman Allah dalam surah al-Qashah:77, Wa ahsin kama ahsanallah ilaik (Berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu).

Perintah untuk berkurban memang hanya sekali dalam setahun. Tapi di sekitar kita ada orang- orang yang tidak tahu harus makan apa hari ini. Di sekitar kita ada anak-anak yang hanya menatap kawan-kawannya membeli jajanan karena kemiskinan ibunya tak sanggup memberinya uang jajan sekolah. Ada juga nenek-nenek yang tinggal di gubung reot, di mana setiap hari harus berjalan kaki puluhan kilometer untuk berjualan agar sekedar bisa makan.

Jika kita binatang, kita akan menyingkirkannya, membunuhnya, karena kemuliaan binatang ditentukan seberapa banyak membunuh yang lain. Tapi kita manusia kan? Itulah mengapa kita harus berkurban. Tidak hanya setahun sekali, tapi setiap hari. Mengapa? Agar kemanusiaan kita tak jatuh ke dalam nafsu kebinatangan.

Ahmad Inung, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam.