Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Pelaku Judi Online Bukan Korban

Ilsutrasi (Gemapos)
Ilsutrasi (Gemapos)

Pernyataan Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy soal ide agar judi online disantuni seakan seperti sebuah hentakan bagi pikiran publik. Muhadjir menggambarkan pemain judi online yang kalah sebagai korban dan mereka perlu mendapatkan bantuan sosial (bansos).

Tentu usul tersebut terbilang cukup aneh dan sulit diterima nalar publik, bahkan mungkin oleh logika paling sederhana.

Jika mengacu pada hukum yang berlaku, semua peraturan dan undang-undang sepakat menyatakan bahwa perjudian adalah tindakan pidana. Baik itu dalam KUHP pasal 303, maupun UU ITE yang jelas menjelaskan aturan tentan perjudian dalam media digital atau daring. Apa pun nama dan bentuk judi, jelas merupakan aksi ilegal yang sudah seharusnya dilarang dan tidak mendapatkan tempat di negara kita, Indonesia.

Usulan memberikan bansos kepada pelaku judi online sama saja memberi amunisi tambahan untuk berlaku hal yang sama. Apalagi bansos menggunakan uang negara, maka uang APBN sama saja dipakai untuk mengongkosi pemain judi.

Usulan Muhadjir ini sudah semestinya ditolak karena sudah menyalahi aturan berpikir dan tentunya melanggar hukum. Penggunaan istilah ‘korban’ pada pemain judi online yang kalah juga sudah menunjukan kecacatan dalam berpikir. Pemain judi selalu melakukan aktivitas perjudiannya secara sadar. Tidak ada orang sebodoh apapun yang dengan sadar menyerahkan diri untuk dihabisi dan menjadi korban. Harus diingat bahwa para pemain judi online ini adalah pelaku tindak pidana, bukan korban.

Alih-alih membuat jera, pemberian bansos menjadikan korban judi semacam mendapatkan 'asuransi' dari aksi untung-untungan itu. Maka, bukan jera yang didapat, malah bisa menjadi candu bagi pemain baru karena mereka tidak khawatir tidak makan lantaran pemain judi dan kekuarganya sudah 'diasuransikan' lewat bansos.

Perlu diingat, Data menyebutkan, sepanjang Juli-September 2022, dari 2.236 kasus perjudian yang dibongkar Polri ternyata 1.125 di antaranya adalah kasus judi daring. Sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan perputaran uang judi daring tahun 2023 mencapai Rp 327 triliun. Pada kuartal I Januari-Maret 2024 ini saja sudah menyentuh angka Rp 100 triliun. Maka jika benar diberikan bansos, maka para pelaku judi online ini tentu merasa semakin yakin untuk berjudi, karena kalau kalah mereka masih bisa makan dengan bansos.

Kendati Muhadjir kemudian menyampaikan bernagai macam alasan soal pernyataannya dalam beberapa hari ini, tetap saja tidak bisa mengobati cacat logikanya. Dia juga mengatakan publik yang salah mengartikan maksudnya. Mantan Meneteri Pendidikan ini berdalih yang akan mendapat bansos ialah keluarga pelaku judi online. Muhadjir juga menambahkan bahwa tidak serta-merta keluarga tersebut mendapat bansos. Keluarga yang dinilai masih kaya, dikecualikan.

Logika semacam itu tak seharusnya keluar dari seorang yang sangat terpelajar. Akan sangat sulit menentukan pelaku judi online yang kaya dan miskin. Judi selalu lekat dengan slogan jika ‘kalah penasaran, menang ketagihan’ yang kemudian masuk ke dalam logika judi berikutnya ‘menang habis, kalah habis-habisan’. Ujungnya, sama saja. Habis karena kalah dalam judi.

Maka akan sulit menentukan bahwa orang yang hendak disantuni itu jatuh miskin karena judi online. Sederhananya, taka da celah alasan untuk pemerintah memberikan bansos kepada ‘pelaku’ judi online yang oleh logika menko Muhadjir disebut korban.

Selain itu, jurus serbabansos dari pemerintah itu juga harus diwaspadai. Meskipun hasil nyata bahwa bansos memang mampu menurunkan persentase penduduk miskin. Misalnya, pada 2011, setelah enam tahun BLT atau bantuan langsung tunai, Badan Pusat Statistik mencatat persentase penduduk miskin turun dari 15,97% menjadi 12,36%.

Kewasapadaan ini berkaitan dengan pemberian bansos untuk pejudi online maupun pihak-pihak yang terdampak juga bakal memberikan preseden buruk dalam proses penegakan hukum tindak pidana.

Pemerintah harusnya fokus memaksimalkan Satgas Pemberantasan Judi Online untuk menjalankan fungsi penindakan. Targetnya ialah pejudi, bandar, serta pihak yang melindungi. Terlebih lagi, sumber masalah judi online sudah jelas, yakni karena masifnya serbuan perusahaan-perusahaan judi online dari luar negeri. Dan tentu mendapat perlindungan dari pihak tertentu yang juga diuntungkan secara pribadi. Maka pihak-pihak inilah yang pertama harus diberantas. Tentu berikut dengan pelaku atau pemainnya. Karena judi online tak akan berkembang jika taka ada permintaan pasar yang masif.

Pemerintah bisa memulai pemberantasan judi online dengan mematikan akses aliran dana perusahaan terkait dengan aksi ilegal itu ke luar negeri.

Hentikan cacat pemikiran yang berujung pada usul menyesatkan. Apalagi kemudian melakukan pembelaan dengan dalih salah penegertian oleh publik. Kurangi melakukan blunder dalam kebijakan. Fokuskan pemikiran pada penindakan cepat dan tepat, karena hari ini negara sedang darurat akibat masifnya judi online.