Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Membangun Kesadaran Bersama Tentang Bahaya Berhaji dengan Visa Non-Haji

Masjid Nabawi di Madinah. (mch2024)
Masjid Nabawi di Madinah. (mch2024)

Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan umat Muslim yang mampu menunaikannya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena haji dengan visa non haji yang mengkhawatirkan. Tercatat pada Minggu (2/6/2024) sebanyak 37 jemaah asal Makassar kedapatan berangkat haji menggunakan visa non haji. Jemaah tersebut dipulangkan dan dikawal oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah.

Jemaah yang menggunakan visa non-haji biasanya karena antrian haji relatif lama terutama di negara dengan populasi muslim besar seperti Indonesia. Hal itu mendorong mereka untuk mencari cara cepat untuk berangkat haji.

Waktu tunggu haji di Indonesia bervariasi tergantung pada provinsi dan tahun keberangkatan. Rata-rata daftar tunggu haji di Indonesia saat ini berkisar antara 10 hingga 39 tahun. Provinsi dengan daftar tunggu terlama pada 2024 adalah Kalimantan Selatan, dengan rata-rata waktu tunggu 39 tahun, sedangkan provinsi dengan daftar tunggu terpendek saat ini adalah Sulawesi Utara, dengan rata-rata waktu tunggu 17 tahun. Faktor yang mempengaruhi daftar tunggu haji di antaranya adalah kuota haji yang diberikan oleh pemerintah Arab Saudi, jumlah pendaftar haji, dan usia pendaftar haji.

Persyaratan ketat seperti istithaah kesehatan, keuangan dan batasan usia membuat orang yang tidak bisa memenuhi persyaratan beralih ke visa non-haji. Biaya haji melalu jalur resmi relatif mahal dan keinginan tinggi untuk berhaji mendorong seseorang untuk mencari cara cepat, mudah dan murah. Beberapa orang mungkin tidak mengetahui proses resmi untuk mendapatkan visa haji, sehingga membuat visa melalui oknum yang tidak bertanggung jawab (calo) yang menipu orang dengan menawarkan visa haji non-resmi dengan jaminan keberhasilan. Orang yang tertipu mungkin tidak menyadari bahwa mereka berhaji menggunakan visa palsu.

Menunaikan ibadah haji tidak hanya tentang mencapai Baitullah, tetapi juga tentang proses spiritual dan pembinaan diri. Penggunaan visa non-haji untuk berhaji dapat merusak nilai-nilai kesucian dan ketulusan ibadah haji. Mengutip dari Kemenag RI dan Syuriah PBNU menjelaskan bahwa berhaji dengan menumpuh jalan non-prosedural masuk kategori dosa.

Penting untuk diingat bahwa menggunakan visa non-haji, apalagi visa palsu, untuk berhaji adalah tindakan ilegal dan berisiko tinggi. Konsekuensinya dapat berupa deportasi, denda, bahkan hukum pidana karena secara hukum melanggar aturan keimigrasian Arab Saudi. Selain konsekuensi hukum, menggunakan visa non-haji dan visa palsu juga dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan. Jemaah mungkin tidak memiliki asuransi kesehatan yang memadai dan tidak mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang diperlukan jika mereka mengalami masalah kesehatan selama di Arab Saudi.

Tindakan individu yang menggunakan visa palsu dapat mencoreng nama baik negara di mata Arab Saudi dan komunitas internasional. Hal ini juga dapat memperburuk hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Arab Saudi, yang memungkinkan Arab Saudi untuk memperketat regulasi visa haji di masa depan sebagai respons terhadap maraknya penggunaan visa palsu, sehingga menyulitkan jemaah yang sah untuk mendapatkan visa.

Penting bagi semua pihak saling bekerjasama untuk mencegah dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan visa non-haji dan visa palsu. Pemerintah, khususnya Kemenag RI perlu meningkatkan sosialisasi dan edukasi tentang proses resmi dan legal untuk mendapatkan visa haji. Informasi dan edukasi yang memadai harus diberikan agar masyarakat dapat mengenali ciri-ciri visa palsu dan menghindari terlibat dalam praktik ilegal tersebut. Pemerintah perlu memperkuat kerjasama di bidang kemanan dengan otoritas Arab Saudi dalam memerangi penggunaan visa palsu. Hubungan baik yang terjalin diharapkan dapat membantu Indonesia mendapatkan kuota haji yang lebih besar dan sesuai dengan jumlah pendaftar.

Calon jemaah dan masyarakat umum juga memiliki peran penting dalam membangun kesadaran tentang bahaya penggunaan visa non-haji dan visa palsu untuk berhaji. Penting untuk mempelajari dan mengikuti prosedur resmi guna mendapatkan visa haji melalui agen perjalanan resmi dan terpercaya agar terhindar dari penipuan dan sanksi. Edukasi diri dan orang sekitar, laporkan aktivitas mencurigakan, pilihlah agen terpercaya, pastikan keaslian visa, dan selalu waspada terhadap penawaran yang tidak masuk akal.

Ulama dalam hal ini memiliki peran penting untuk menanggulangi penggunaan visa palsu dan visa non-haji. Ulama dapat memberikan edukasi dan dakwah untuk menjelaskan hukum Islam terkait penggunaan visa palsu dan visa non-haji untuk berhaji, serta konsekuensi yang dapat ditimbulkannya melalui khotbah, ceramah, seminar, dan publikasi.

Dengan mengikuti aturan yang ada, citra jemaah Indonesia menjadi baik dan dapat menumbuhkan simpati dari pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia dengan memberikan kebijakan yang menguntungkan bagi Indonesia, seperti penambahan kuota haji dan kemudahan akses layanan ketika jemaah Indonesia melaksanakan ibadah haji. Kerjasama dan kesadaran yang tinggi dari semua pihak, tentu akan menciptakan ketertiban dan rasa aman. Jemaah yang berhaji sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan aturan yang ada, semoga Allah lancarkan dan menjadikannya sebagai ibadah haji yang mabrur. Wallahu A'lam Bishawab.

Aziz Syafiuddin, Pegawai Kementerian Agama RI, dan Reni Rentika Waty, UIN Raden Fatah Palembang