PMKRI Akui Tak Pernah Bahas Jatah Tambang: Kalaupun Ditawari, Kami Tolak

Ketua Presidium PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Tri Natalia Urada. (foto:gemapos/dok.istimewa)
Ketua Presidium PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Tri Natalia Urada. (foto:gemapos/dok.istimewa)

Gemapos.ID (Jakarta) - Ketua Presidium PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Tri Natalia Urada merespon terkait dengan jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah. Hal itu disampaikannya usai tersebar di berbagai media list berbagai ormas keagamaan yang kemungkinan mendapat jatah izin tersebut yang salah satunya menyebut PMKRI.

Dalam rilis yang diterima Gemapos, di Jakarta, Rabu (5/6), Tri mengonfirmasi tidak ada pembicaraan soal penawaran pemerintah dalam pengelolaan tambang dengan PMKRI selama ini. Kalau pun ada penawaran, dirinya menyebut PMKRI pasti menolak. 

"Pertimbangan paling mendasar adalah kami tidak mau independensi PMKRI sebagai organisasi kemahasiswaan, pembinaan dan perjuangan terkooptasi dengan kepentingan-kepentingan usaha tambang. Berbagai persoalan yang diakibatkan oleh operasi industri pertambangan akan terus kami sikapi dan kritisi," ucapnya dalam rilis tersebut

Diketahui, ketentuan Ormas Keagamaan yang mendapatkan WIUPK secara perioritas dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat diatur dalam pasal 83A ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Melalui peraturan tersebut, ormas keagamaan kini dapat memiliki WIUPK. 

Tri melihat adanya tumpang tindih aturan yang terjadi berkaitan dengan kebijakan pemberian izizn kelola Tambang kepada ormas keagamaan. Dirinya khawatir jika hal tersebut justru menimbulkan konflik.

"Jika merujuk pada pasal 75 UU No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Badan Usaha Swasta mendapat perioritas dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. Kita bisa melihat bahwa terjadi ketimpangan dan atau tumpang tindih antara UU Minerba dan PP No. 25 tahun 2024. Selain itu, juga berpotensi menimbulkan konflik horizontal yang lebih besar dikemudian hari," papar Tri.

Tri kemudian memaparkan data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa saath ini terdapat sebanyak 7.993 izin mineral dan pertambangan (Minerba) dengan luas 10.406.060 hektare. 

Dirinya beranggapan bahwa operasi tersebut berdampak pada kerusakan lingkungan yang panjang dan belum dipulihkan. Tri bersama organisasinya tidak mau jika atas nama kemajuan ekonomi, pembukaan lahan skala besar justru mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan manusia, kerusakan pangan lokal, terutama sekitar tapak tambang.

"Jadi jika PMKRI turut terlibat dalam urusan tambang, sama halnya kami melestarikan persoalan-persoalan yang ada dan akan sangat paradoks dengan kerja-kerja yang kami lakukan selama ini, yaitu menjaga kedaulatan lingkungan," tegasnya.

"Kami menilai, rencana ini juga akan berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial. Berdasarkan data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang," tambah Tri dalam keterangannya.

Disisi lain, Tri mengakui PMKRI tidak memiliki kapasitas SDM dan teknologi yang mumpuni untuk mengurus tambang. Akan tetapi sebagai elemen masyarakat sipil, Ia memastikan organisasinya memiliki komitmen dan sikap yang konsisten untuk melakukan checks and balances atas berbagai kebijakan yang anomali dan ketimpangan lainnya yang dapat merugikan masyarakat. Khususnya yang dia ia soroti industri-industri ekstraktif seperti tambang.

"Kami berharap pemerintah menghentikan rencana ini dengan segera merevisi PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara," pungkas Tri