Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Solusi Lepas dari Middle Income Trap, DPR: Perbesar Anggaran Riset

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. (gemapos/DPR RI)
Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati. (gemapos/DPR RI)

Gemapos.ID (Jakarta) - Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati angkat bicara terkait penyusunan UU APBN 2025, setelah pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1 - 5,5 persen pada Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025. Menurutnya, syarat menuju Indonesia Emas 2045 dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) tidak mudah, setidaknya diperlukan pertumbuhan ekonomi setidaknya 6 persen.

“Indonesia memerlukan pertumbuhan ekonomi per tahun antara 6-7 persen, sementara tren pertumbuhan ekonomi selama dua periode kepemimpinan saat ini (hanya) mencapai rata-rata 5 persenan saja,” kata Anis dalam rilis resmi DPR RI, dikutip di Jakarta, Jumat (31/5/2024).

Anis menengarai pertumbuhan ekonomi yang rendah tersebut, didorong oleh rendahnya tingkat produktivitas Indonesia. Rata rata produktivitas yang rendah tercermin dari Total Factor Productivity (TFP) Indonesia selama 2005 – 2019 yang tumbuh negatif sebesar -0,66. Anis kemudian membandingkannya dengan Korea Selatan yang mampu mencapai 1,61 ketika masih dalam situasi menuju negara maju pada tahun 1971 -1995 atau Tiongkok sebesar 1,60 selama kurun 2005 – 2019.

“Produktivitas yang rendah dari Indonesia disebabkan kualitas SDM yang tertinggal. Baik dari sisi produktivitas sektor ekonomi yang rendah, kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi yang tertinggal, hingga rumitnya regulasi dan kepastian hukum, Indonesia kesulitan menuju negara maju” ungkapnya.

Menurut Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini kapasitas Ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa melalui efisiensi, desain produk berkualitas, dan berteknologi tinggi.

“Namun semua itu dihadapkan dengan lemahnya komitmen pemerintah terutama dari sisi belanja anggaran riset dan teknologi yang baru mencapai 0,28 persen dari PDB. Jauh tertinggal dibandingkan Korea Selatan (4,81), dan Malaysia (1,04) menurut data tahun 2020,” katanya.

Anis menyebut, berdasarkan Indeks Inovasi Global yang dirilis World Intellectual Property Organization yang merupakan badan dari PBB. Inovasi Indonesia dalam 10 tahun terakhir berada di bawah peringkat Singapura yang menduduki peringkat (8), Malaysia (36), Thailand (43), Vietnam (44), dan Filipina (51). Sementara Indonesia sendiri bertengger di peringkat 87 dari seluruh negara lainnya di dunia.

“Belanja anggaran riset perlu diperkuat, pada akhirnya riset, inovasi, dan teknologi lah yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih kencang. Jika keberpihakan negara tidak ada, sulit rasanya menuju Indonesia emas 2045,” katanya.

Politisi Fraksi PKS ini seolah menegaskan bahwa inovasi teknologi diperlukan di berbagai lini. Ia lantas menyinggung bahwa dalam UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang diusulkan oleh Komisi XI DPR RI hal ini juga mendapatkan perhatian.

"Upaya tersebut agar semua berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional secara simultan, tantangannya ialah SDM, salah satunya masih minimnya literasi keuangan," kata legislator Dapil DKI Jakarta I tersebut.

Menutup penyataannya, Anis memandang untuk mencapai SDM menuju negara maju, kualitas dan kuantitas peneliti Indonesia belum cukup memadai. Tercermin dari jumlah peneliti riset dan inovasi per satu juta penduduk, Indonesia hanya mencapai 388, jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (7.287), Thailand (1.790), dan Korea Selatan (8.408).

“Demikian pula ekosistem riset masih lemah, hasil riset tidak aplikatif karena masih kurangnya kerja sama riset domestik dan internasional. Sebagaimana tergambar dari jumlah paten yang diajukan Indonesia hanya sebanyak 1.445, masih tertinggal dari Malaysia (1.863), Singapura (9.766), Apalagi jika dibandingkan negara maju seperti Korea Selatan (267.527), “ pungkasnya. (ns)