Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Pemiskinan Koruptor Versus Kursi Menteri

Ruang rapat Dewan Perwakilan Rakyat. (foto: gemapos/DPR)
Ruang rapat Dewan Perwakilan Rakyat. (foto: gemapos/DPR)

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa Revisi UU Kementerian Negara akan segera rampung. Dasco memastikan itu akan selesai sebelum pelantikan Presiden dan wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada bulan Oktober mendatang. Sehingga menjadi sebuah indikasi bahwa tujuan untuk menambah jumlah kementerian semakin mendekati kenyataan. Meskipun itu masih dugaan-yang kuat.

Terlepas dari tujuan penggelembungan jumlah kementerian, Revisi UU Kementerian menjadi bentuk kerja cepat DPR dalam mengasilkan produk legislasi. Bahkan menyalip RUU lain yang sudah lama menunggu antrian. Tentu sesuai ‘kebutuhan’. Namun berbeda nasib dengan beberapa RUU yang tidak tersentuh dalam waktu yang cukup lama. Meskipun telah menjadi Prolegnas prioritas. Akan tetapi masih saja terkatung-katung tidak jelas mau kemana.

Salah satunya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU PATP) menjadi buktinya. Pembahasan RUU itu mangkrak lebih dari satu dekade. Padahal pada Mei 2023 lalu, Presiden bahkan berupaya mendorong pembahasannya di DPR dengan mengirimkan surat perintah presiden (supres) mengenai RUU itu. Tetapi tetap saja pimpinan dewan seakan tak merespon apapun.

Selain disalip RUU Kementerian Negara, RUU PATP ini juga sempat disalip oleh UU Desa yang seakan diselundupkan di tengah jalan dan langsung melesat disahkan pada 28 Maret 2024. Jika kita mau jujur, RUU Perampasan Aset semestinya lebih genting mengingat tindak kejahatan korupsi di negeri ini seakan tidak pernah padam, justru sebaliknya kian menyala. Bahkan lembaga pencegahan hingga penegakan korupsi pun tak luput dari tindakan korupsi. Bisa dilihat dalam persidangan kasus dugaan Korupsi mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo bahkan melibatkan BPK, hingga ketua KPK.

Hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2019 hingga 2023 menyimpukan tren perkara korupsi di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir tersebut. Berikut dengan jumlah tersangka yang semakin tinggi.

Menurut ICW, pada 2019 angka korupsi sebanyak 271 kasus, kemudian naik 444 kasus pada 2020. Pada 2021 naik lagi menjadi 533 kasus, dan di 2022 sebanyak 579 kasus. Selanjutnya, pada 2023 terjadi lonjakan perkara rasuah hingga mencapai 791.

Angka-angka itu harusnya menjadi alarm yang membangunkan kita bahwa jangan sampai UU Perampasan Aset terus mangkrak. Penerapan RUU inilah yang diharapkan dapat benar-benar menimbulkan efek jera bagi koruptor. Singkatnya, koruptor dapat dimiskinkan. Begitu pula dengan semua orang yang terciprat uang haram itu, mereka harus mengembalikannya kepada negara.

Tanpa UU Perampasan Aset, upaya pemiskinan terhadap terpidana korupsi hanya bergantung pada subjektivitas hakim. Masalah ini berkaitan dengan kejelian hakim dalam menakar sejauh mana koruptor akan dimiskinkan. Seringkali terjadi, koruptor yang tetap jadi pemenang. Sudah hukuman kurungan dikorting hampir tiap tahun, saat keluar dari penjara, mereka masih bergelimang harta. Bagaimana mungkin pelaku koruptor atau bahkan calon pelaku akan takut dan jera dengan tindakan korupsi. Karena jika dihitung secara matematika dasar, maka mereka masih menjadi pemenang kalau hanya dihukum dipenjara. Tentu dengan ruangan khusus dan sejuk.

Jika kita bandingkan, sepertinya DPR memandang lebih penting menambah kursi kementerian dibanding memiskinkan pelaku korupsi. Bagaimana RUU Perampasan Aset dilangkahi dengan Revisi UU Kementerian Negara. Tentu sebagian pihak memandang bahwa hal itu sarat kepentingan politik. Khususnya bagi koalisi pemenang Pemilu 2024.

Tentu saja semua soal Political will. Sejauh mana pandangan politik melihat urgensi dari sebuah produk legislasi. Sehingga bahkan sesuatu yang secara logis sangat genting, mungkin berbeda jika dihadapkan pada sebuah pandangan politis.

Sudah barang tentu jika ada UU Perampasan Aset, pembuktian tindak pidana yang seringkali penuh drama tidak lagi diperlukan. Konsep sederhananya adalah mengembalikan apa yang dicuri. Meski para pelaku tidak dapat diseret atas tindak korupsi, aset tetap dapat disita jika tidak dapat dibuktikan kesahihannya. Selain itu, penyitaan aset bisa dilakukan meski pelaku tidak diketahui kemana perginya atau buron. Semua itu tentu bisa dilakukan. Tentu saja tergantung kemauan dan kepentingan.