Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Wajib Lapor ke Publik Bahas Produk Legislasi

Ketua DPR RI Puan Maharani foto bersama usai menyetujui Laporan Komisi III DPR RI terhadap hasil Uji Kelayakan (Fit & Proper Test) Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masa jabatan 2024-2029 di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis, (4/4/2024). (foto:gemapos/DPR RI)
Ketua DPR RI Puan Maharani foto bersama usai menyetujui Laporan Komisi III DPR RI terhadap hasil Uji Kelayakan (Fit & Proper Test) Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masa jabatan 2024-2029 di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis, (4/4/2024). (foto:gemapos/DPR RI)

Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, pemerintah Indonesia tentu selalu melibatkan publik dalam setiap penentuan kebijakannya. Tak terkecuali dalam membuat suatu peraturan khsususnya Undang-undang. Terlebih, sebuah peraturan atau UU itu dibuat nantinya akan memiliki dampak langsung terhadap keberlangsungan masyarakat dalam berbagai bidang.

Lagipula, publik atau masyarakat adalah pihak yang paling terlibat - terdampak dalam sebuah kebijakan. Pemerintah sejatinya hanya pengemban amanah. Dimana tugas utamanya adalah untuk melayani dan memberikan kepastian bahwa publik akan mendapat hal yang positif. Makin bagus keterlibatan publik, maka kebijakan yang dihasilkan pun akan semakin efektif.

Mungkin itu masih menjadi sebuah konsep ideal. Hanya konsep. Karena masih seringkali masyarakat diabaikan untuk mengetahui kebijakan yang akan dibuat pemerintah. Contohnya dalam pembentukan atau revisi undang-undang. Acapkali proses yang dilakukan cenderung tergesa-gesa bahkan terkesan disembunyikan. Sehingga publik hanya tahu ketika itu sudah disahkan dalam paripurna.

Banyak muncul pertanyaan kenapa hal itu dilakukan oleh pembuat peraturan. Entah karena mengejar tenggat atau memang disengaja karena ada ‘udang di balik batu.’

Fenomena terkini yang bisa menjadi contoh adalah pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK). Saking tergesa-gesanya, bahkan dibahas di saat masa reses. Bukan hanya itu, jika kita mengingat lagi, hal serupa juga terjadi saat pembahasan revisi UU KPK, UU Ciptaker, dan UU IKN. Entah apa yang menjadi alasan sebuah Undang-undang yang melibatkan begitu banyak orang, dilakukan dengan kejar-kejaran bahkan seperti disusun di pojok mati yang tidak terjangkau publik. Setiap peraturan yang akan dibuat, Anggota Dewan ‘wajib lapor’ ke publik dan rakyat yang menjadi penguasa tertinggi negeri ini.

Banyak pihak seringkali mengkritisi hal itu. Tetapi dalam banyak peristiwa, produk ‘kejar tayang’ itu tetap berlaku. Terlepas masuk atau tidaknya agenda politik pemerintah di balik semua, satu hal yang penting ditanamkan kepada anggota dewan yang terhormat. Hentikan kebiasaan dan buang tabiat semacam itu di Parlemen yang sangat dihormati. Selain itu, harus diingat, Dewan Perwakilan Rakyat adalah orang yang diberi amanah oleh rakyat untuk mewakili kepentingan mereka, salah satunya lewat produk legislasi. Maka sudah semestinya, produk itu harus bisa memenuhi kepentingan masyarakat luas, bukan eksklusif untuk segelintir elit. (ns)

 

Perlu diingat, kehadiran publik tidak hanya dibutuhkan saat pemilu. Jangan hanya saat pemilu suara rakyat dibutuhkan, tetapi ketika membahas kebijakan dan aturan justru aspirasi dan partisipasi rakyat hanya menjadi angin lalu. Sekali lagi, Indonesia merupakan negara demokrasi, bukan autokrasi. Maka sudah semestinya, rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini.