Gema Bali Gema Lampung Gema Kalteng

Pendidikan Mesti Terjangkau

Ilustrasi - Pendidikan Tinggi. (gemapos/setkab)
Ilustrasi - Pendidikan Tinggi. (gemapos/setkab)

Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diseremonikan setiap tanggal 2 Mei, hendaknya sekaligus menjadi refleksi. Momen itu sudah semestinya menjadi introspeksi sekaligus evaluasi sistem pendidikan di Indonesia, mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga tinggi.

Hardiknas 2024 kali ini oleh pemerintah dipasangi tema Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar. Sesuai tema tersebut, maka upaya memerdekakan pendidikan juga tak boleh stagnan tanpa kemajuan yang lebih baik. Karena jika melihat fakta di lapangan, masih banyak masyarakat yang belum merasakan 'kemerdekaan' untuk bisa mengakses pendidikan murah. Khususnya pendidikan tinggi yang masih seakan menjadi ‘hanya’ sebuah mimpi.

Keterlibatan negara dalam sistem pendidikan tinggi masih terasa belum maksimal. Tak bisa dimungkiri aura kapitalisme pendidikan tinggi masih kental di negara yang punya tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal itu terutama bermula ketika sejumlah kampus negeri berganti status menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH) yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti).

Status PTN BH membuat lembaga pendidikan mendapat subsidi pendidikan dari negara, selaigus membuat kampus dapat menerima dana dari masyarakat. Harapannya, ialah kampus dapat meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan pengajaran; Penelitian dan pengembangan; serta Pengabdian kepada masyarakat dengan adanya dana yang cukup memadai.

Konsep keuangan tersebut cukup idela dan fleksibel serta suda dianut oleh universitas-universitas terbaik dunia, termasuk Harvard University. Masalahnya adalah saat implementasi konsep ideal itu. Bagaimana dana subsisdi dan sumbangan dapat dikelola untuk meningkatkan mutu dan keterjangkauan pendidikan.

Harvard, melakukan penghimpunan dana masyarakat itu didominasi dari donasi. Harvard bahkan tercatat sebagai universitas yang langganan bertengger di peringkat teratas dunia pengumpul donasi, mulai dari donasi internasional, donasi dalam negeri, hingga donasi alumni. Hasilnya, Harvard tidak saja membiayai perkuliahan dan berbagai riset, tetapi juga menghidupi rumah sakit hingga museum.

Kemampuan kampus-kampus di Indonesia tidak sehebat itu dalam menggalang donasi. Akibatnya, sebagai jalan pintas, kebanyakan PTN menerjemahkan pengumpulan dana masyarakat itu dengan menerapkan uang kuliah yang tinggi. Mulai dari biaya ini dan itu. Saking tingginya bahkan ada yang menyebutnya selangit karena tidak jarang uang kuliah yang ditetapkan di PTN jauh lebih tinggi ketimbang di perguruan tinggi swasta (PTS).

Akhirny isu tentang uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal selalu memunculkan persoalan setiap tahunnya. Banyak dari calon mahasiswa yang berhasil lolos masuk PTUN akhirnya mundur karena biaya kuliah yang tidak mampu mereka sentuh.

Kalau dicermati, mungkin aturan yang dibuat pemerintah terkadang membuka celah untuk kampus melakukan kewenangan yang memicu persoalan. Pada tahun lalu, misalnya, ada 21 PTN yang diberi kuota penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri maksimal 50%.

Jalur mandiri adalah metode penerimaan mahasiswa baru yang dilakukan secara langsung oleh pihak universitas, termasuk 'harga' masuknya. Besaran harga atau sumbangan ini yang biasanya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Jalur inilah yang kemudian banyak menimbulkan persoalan. Harga masuk untuk jalur mandiri sering dibahasakan sebagai Sumbangan Pengemabangan Institusi (SPI) yang waktu lalu menjadi kasus di beberapa perguruan tinggi. Angka SPI sangat variatif, mulai dari puluhan, sampai ratusan juta rupiah tergantung jurusan dan fakultas yang diambil.

Aturan itu tidak saja memperkecil kesempatan masyarakat pas-pasan untuk bisa menempuh pendidikan tinggi, tapi juga amat rentan membuka celah korupsi di perguruan tinggi. Kasus korupsi yang menyeret Rektor Universitas Lampung (Unila) dan Universitas Udayana beberapa waktu lalu adalah contoh nyata bahwa keleluasaan yang diberikan kepada universitas untuk penerimaan mahasiswa amat rawan diselewengkan.

Kasus-kasus dan peristiwa lunturnya harapan menempuh pendidikan tinggi harus menjadi bahan evaluasi sistem pendidikan di Indonesia. Selain itu, visi pemerintah harus dievaluasi. Sejauh mana keseiusan dalam menjamin tujuan mencerdaskan kehidupan bangs aitu diaktualisasikan. Sebagaimana kita ketahui, spirit Ki Hadjar Dewantara yang dulu begitu gigih menerobos sistem pendidikan yang penuh dengan batasan-batasan. Kini batasan itu salah satunya ada pada biaya pendidikan tinggi yang mahal. Biaya mahal itu seperti semacam penjagal ‘mimpi’ sebagaian besar anak bangsa yang ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Hari ini sikap kita harus lebih tegas dan jelas dengan menentukan keberpihakan terhadap akses pendidikan bagi semua kalangan. Bukan hanya kaum berkantong tebal, tapi untuk mereka yang punya akses dana terbatas. Kemajuan bangsa apalagi mencapai Indonesia Emas membutuhkan SDM yang cerdas dan mumpuni, yang jalan utamanya adalah dengan pendidikan terbaik.