Jangkar Baja: Reformasi Lahirkan Demokrasi, Jangan Hianati

Ketua Presidium Nasional Jangkar Baja, I Ketut Guna Artha (Igat). (gemapos)
Ketua Presidium Nasional Jangkar Baja, I Ketut Guna Artha (Igat). (gemapos)

Sebentar lagi memasuki bulan Mei. Cukupkah peringatan Reformasi sebatas seremoni tanpa pernah merenungkan kembali untuk apa sebenarnya tujuan Reformasi?

Reformasi 1998 telah berhasil melahirkan demokrasi, kebebasan dan keterbukaan informasi. Namun celakanya korupsi dan kejahatan ekonomi makin meluas di semua lini.

Makelar kasus, peredaran narkoba, judi online, skandal pajak, skandal di sektor tambang dan kejahatan lainnya. 

Sebagian kasus menguap, seakan hukum tebang pilih jadi alat sandera atau barter untuk kepentingan politik. 

Terkesan pemerintahan Presiden Jokowi tidak sungguh-sungguh berkomitmen dalam pemberantasan korupsi dan kejahatan keuangan lainnya. Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi kenyataan, menjadi alat kekuasaan untuk menekan pihak yang tak sejalan dengan keinginan penguasa. 

Sebagaimana yang pernah diberitakan bahwa KPK pernah menggeledah kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa terkait dugaan suap Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua P. Simandjuntak pada Rabu (21/12/2022).

Sebulan kemudian Gubernur Jatim mengumumkan resmi mendukung pasangan Prabowo -Gibran, Rabu (10/1/2024).

Lalu Mahkamah Konstitusi (MK) putuskan memperpanjang jabatan Khofifah Indar Parawansa yang harusnya berakhir pada 31 Desember 2023 digantikan pj. gubernur menjadi berakhir hingga sehari sebelum pencoblosan, 13 Februari 2024.

Sistem hukum (peraturan/perundang-undangan) yang baik tidak cukup tanpa didukung integritas penegak hukum apalagi masyarakat yang permisif yang membenarkan yang dianggap biasa. Seharusnya membiasakan yang benar.

Oleh karena itu etika, tingkat literasi dan tidak menjadi generasi yang ahistoris sangat penting bagi keberhasilan masa depan dan kemajuan Indonesia.

Dengan penyelenggaraan pemilu 2024 yang tidak profesional dan bermasalah serta situasi geopolitik dunia rasanya pesimis Indonesia Emas 2045 terwujud. 

Bagaimana membangun kepercayaan ketika kejahatan korupsi makin meluas? Kepala daerah, aparatur sipil negara (ASN) eselon iii, pegawai KPK, hingga Kepala Desa bisa terjerat kasus pungli, kolusi dan korupsi.

Ini adalah bukti kejahatan korupsi telah bertransformasi sangat cepat seakan mengikuti disrupsi teknologi. 

Mirisnya lagi praktek penggunaan APBN untuk kepentingan elektoral dalam pilpres 2024 yang nir etika seolah dilegalkan oleh penilaian lima hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang terjebak hanya berdasarkan legal formal prosedural dan bukti material.

Padahal program bansos yang dibagikan dimasa kampanye ada konflik kepentingan yang memberikan insentif keuntungan elektoral kepada capres cawapres yang didukung Presiden Jokowi.

Kebijakan pragmatis dengan dalih bantuan sosial (bansos) dan perlindungan sosial (perlinsos) adalah praktek jual beli suara sebagai resiko demokrasi yang liberal.

Kemiskinan telah dijadikan alasan pelegalan penggunaan APBN untuk kepentingan terselubung dengan memanipulasi kekosongan hukum.

Oleh karena itu hukum yang lebih progresif harusnya mampu menjerat kebijakan yang dimanipulasi untuk kepentingan kelompok dan nepotisme.

Kejahatan demokrasi yang terstruktur dan sistematis jauh lebih bersifat "destruktif" dibandingkan kriminal biasa jalanan. Karena hal ini akan menghancurkan masa depan demokrasi dan meritokrasi. Padahal proses yang jujur dan adil itu jauh lebih penting ketimbang sebatas hasil angka-angka kuantitatif.

Untuk mencegah penyimpangan penggunaan uang negara, penyalahgunaan jabatan dari kepentingan pribadi maupun kepentingan kekuasaan politik, Indonesia membutuhkan sebuah undang-undang atau aturan yang lebih rigid untuk mengkategorikan sebuah kebijakan sebagai sebuah pelanggaran atau bukan.

Hal ini untuk mencegah hal serupa kembali terjadi pada penyelenggaraan proses demokrasi di masa depan. 

Senayan harus menggunakan Hak Angket untuk mengurai benang kusut penyelenggaraan pemilu 2024 apalagi dalam waktu dekat akan terselenggara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Nopember 2024.

Saya harap DPR mengevaluasi Undang-undang Pemilu agar pejabat yang menjadi capres/cawapres dan calon kepala daerah serta tim pemenangan harus mengundurkan diri agar tidak ada penyalahgunaan fasilitas negara, APBN/APBD dan memanfaatkan jabatannya untuk pencitraan demi popularitas dan elektabilitas.

Termasuk pengaturan rangkap jabatan menteri atau kepala daerah sebagai pengurus partai politik, saat tahapan pemilu harus mengundurkan diri agar program pemerintah yang bersumber dari APBN/APBD tidak disalahgunakan untuk kepentingan elektoral.

Revisi Undang-undang Pemilu juga harus mengatur definisi bentuk/jenis/katagori pelanggaran pemilu baik sebelum, selama dan setelah masa kampanye dan sanksi yang sepadan untuk efek jera. Juga mengatur mekanisme dan sanksi penyelesaian pelanggaran baik yang bersifat administrasi, pidana dan perselisihan hasil.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberi kewenangan lebih luas untuk memberikan sanksi pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dengan payung hukum yang tidak abu-abu sehingga tak ada lagi dalih tidak bisa memberi sanksi karena tidak cukup bukti dan tidak punya dasar hukum.

Sesungguhnya saya punya harapan besar kontestasi pilpres 2024 berlangsung jujur dan adil sehingga melahirkan kepemimpinan nasional sebagai panglima dalam mewujudkan supremasi hukum, law enforcement dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang dari kejahatan korupsi, narkoba, illegal mining, illegal logging, pembakaran hutan, judi online, investasi bodong, mafia tanah dan kekuasaan yang transaksional.

Itu adalah sejumlah tantangan yang akan dihadapi dan diselesaikan oleh presiden dan wakil presiden terpilih pasca putusan MK yang sikap delapan hakimnya tidak bulat. Ada dissenting opinion yang artinya adalah pilpres 2024 bermasalah (problematik) dan legitimasinya tidak seratus persen.

I Ketut Guna Artha (Igat), Ketua Presidium Nasional Jangkar Baja.