Soal 'Solusi Dua Negara' yang Diusul Kemlu RI, Pengamat: Sulit Diterima

Pengamat Pertahanan dan keamanan, DR. Jeane Francoise. (gemapos)
Pengamat Pertahanan dan keamanan, DR. Jeane Francoise. (gemapos)

Gemapos.ID (Jakarta) - Pengamat Pertahanan dan keamanan, DR. Jeane Francoise menilai solusi dua negara (Two State Solution) yang disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI soal konflik Israel-Palestina. Solusi tersebut sendiri disampaikan Indonesia bersamaan dengan usulan perdamaian di Timur Tengah pasca serangan Iran ke Israel. 

Sebagaimana diketahui, ketegangan Iran dan Israel dianggap berkaitan dengan konflik panjang Israel dan Palestina. Bahkan berbagai pihak menyebut Iran mendukung tindakan hamas dalam melawan Israel.

Awalnya Jeane menyebut usulan kemlu tersebut bukan sesuatu yang murni dari Indonesia. Dia mengatakan bahwa usulan tersebut sudah ada sejak tahun 70-an oleh presiden Amerika serikat Jimmy Carter. Oleh karena itu, usulan tersebut akan sulit diterima karena merupakan rumusan pihak barat.

Ya betul (kemlu usul itu ke PBB), solusi 2 negara ini kan sebetulnya bukan original dari Indonesia ya, bahkan Presiden Amerika waktu itu di tahun 70-an Jimmy Carter sudah menyampaikan hal itu," ungkap Jeane kepada Gemapos, di Jakarta, Kamis (18/4/2024).

"Tapi apakah diterima oleh kedua belah pihak? Karena kalau dari sisi Palestina kemudian ada organisasi yang memang menolak itu. begitu juga dari sisi Israel. Artinya to state solution hingga tahap sekarang belum diakui menjadi solusi yang tepat, karena itu cenderung rumusan barat," sambungnya.

Menurut Jeane Palestina akan sulit menerima solusi tersebut. Palestina, kata Jeane, khawatir jika diterapkan, maka wilayah tertentu harus secara sukarela diberikan kepada Israel dengan ganti rugi tertentu. Terlebih usulan tersebut muncul pertama dari pihak barat yang mendukung Israel.

"Untuk two state solution yang dikhawatirkan oleh Palestina sendiri hanya war state jadinya. Artinya hanya ini bagian kita di Palestina diambillah dengan istilah secara sukarela dengan ganti ruginya mungkin ABC. Nah itu kemudian dikhawatirkan oleh Palestina," paparnya.

"Jadi menurut saya Indonesia kalau memang posisinya mendukung ya state solution harus jelas juga. Karena biar gimana 2 bangsa ini ya baik dari pihak Israel maupun palestina sudah ada korban jiwanya gitu ya jadi kita kalau pro ya, pro kemanusiaan gitu," tambahnya lagi.

Jeane kemudian menegaskan kembali soal branding politik luar negari Indonesia. Konspe politik non blok dan bebas aktif menurutnya pasti mengedepankan dialog ke arah perdamaian. Dia menuturkan Indonesia sudah paham pihak yang berkewajiban dan memiliki wewenang untuk itu. Meskipun kata, Jeane, opsi perdamaian dalam diplomasi internasional cukup sulit diterapkan.

"Kembali ke nation branding kita kan bebas aktif kemudian non blok artinya kita akan melihat peluang-peluang opsi perdamaian. Kita akan mengedepankakn dialog itu tentu saja yang akan dilakukan Indonesia, walaupun Indonesia sendiri saya yakni juga sudah tahu pihak-pihak otoritas atau memiliki wewenang. Di diplomasi internasional juga sudah tahu bahwa opsi perdamaian ini tidak cukup, tapi tentu Indonesia akan lebih condong untuk opsi perdamaian," ungkap Jeane.

Dirinya kemudian menawarkan untuk Indonesia bisa menjadi mediator dalam konflik yang terjadi di Timur Tengah. Jeane pun menyinggung soal Indonesia yang juga pernah terlibat sebagai mediator di beberapa isu dan konflik Internasional.

"Misalkan hal yang nyata adalah waktu Indonesia waktu itu pernah menjadi mediator Rohingya di Jakarta 2 kali kemudian Afgnistan juga 2 kali. Nah mungkin bisa dibuka option itu jadi mediator. Katakanlah yang tampil perwakilan dari Asean untuk kemudian bisa mendamaikan Iran dan Israel kemudian juga mendukung perdamaian di Palestina," tukas Jeane.(ns)