Sahabat Pengadilan dalam Politik dan Kepastian

Pimpinan Hakim MK, suhartoyo. (gemapos/youtube MK)
Pimpinan Hakim MK, suhartoyo. (gemapos/youtube MK)

Beberapa hari menjelang Mahkamah Konstitusi (MK) memutus sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, banyak pihak berbondong-bondong menjadi amicus curiae ke MK.

Salah satu yang paling mendapat perhatian publik adalah Presiden kelima Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati yang mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam kasus tersebut. Meskipun Pihak tim hukum Prabowo, Dalam hal ini Otto Hasibuan menilai, Ketua Umum PDIP itu tidak tepat mengajukan amicus curiae, karena dianggap pihak yang terliba langsung dalam perkara sebagai pimpinan partai pengusung 03.

Selain megawati, Hingga Rabu (17/4), setidaknya terdapat sampai 21 pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi.

Terbaru, pihak pendukung Prabowo-Gibran bahkan menyebut akan ada 10 ribu orang yang akan mengajukan amicus curiae dari pihak mereka. Apa sebenarnya amicus curiae ini? Dan seberapa besar pengaruh amicus curiae ini terhadap keputusan persidangan?

Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Sahabat Pengadilan”, sederhananya adalah praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan. Tidak seperti pihak yang berperkara langsung, keterlibatan Amicus Curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya digunakan oleh hakim sebagai salah satu pertimbangan dalam memutus perkara.

Pada awalnya Tradisi ini berasal dari sistem Hukum Romawi yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Common Law. Namun kini banyak dipakai pada negara dengan sistem hukum Civil Law seperti Indonesia.

Di Indonesia, konsep Amicus Curiae di Indonesia didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.

Dengan adanya amicus curiae, diharapkan informasi yang diperoleh hakim akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara. 

Jika bicara kedudukan amicus curiae Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia menurut Linda Ayu Pralampita (2020), hakim dapat menggunakan masukan amicus curiae untuk memeriksa, mempertimbangkan, dan memutuskan perkara.

Amicus Curiae bisa diajukan baik oleh individu maupun organisasi yang berkepentingan terhadap suatu perkara.

Akan tetapi, Meskipun memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan alat bukti keterangan saksi dan ahli, amicus curiae tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kategori alat bukti tersebut. Hal itu disebabkan dua alasan. Pertama, Pasal 1 angka (26) KUHAP, seorang saksi didefinisikan sebagai orang yang memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana berdasarkan apa yang di dengar, lihat, dan alami secara langsung. Dalam amicus curiae tak ada persyaratan tersebut.

Kedua, amicus curiae juga tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti saksi ahli. Hal ini disebabkan ada syarat menjadi saksi ahli yaitu harus memiliki keahlian khusus terkait informasi yang diberikan. Padahal, Amicus Curiae tidak harus berasal dari orang yang mempunyai keahlian khusus seperti saksi ahli. Masyarakat biasa pun boleh.

Akan tetapi, amicus curiae dalam pembuktian dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan hakim. Dalam konteks ini, amicus curiae digunakan untuk membantu hakim membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum putusan pidana dijatuhkan. Maka, kekuatan pembuktian amicus curiae terletak pada keyakinan hakim itu sendiri dalam menilai kasus. Hakim menilainya secara faktual disertai tolok ukur relevansi dari amicus curiae yang diajukan terhadap perkara tersebut.

Apakah praktik ini pernah menuai hasil dalam putusan persidangan di Indonesia? Jawabanya ada.

Salah satunya terjadi pada persidangan Bharada E dalam lingkaran kasus Ferdi Sambo.

Gabungan antara ICJR, Public Interest Lawyer Network (PIL-NET), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengajukan Amicus Curiae untuk melindungi Bharada Eliezer Pudihang Lumiuw (Bharada E), terdakwa dalam kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat. Karena memenuhi kualifikasi, partisipasi Bharada E sebagai JC patut menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan hukumannya. Hakim menerima pendapat dari Amicus Curiae tersebut sehingga hukuman Bharada E diringankan dari tuntutan yang awalnya 12 tahun menjadi 1 setengah tahun.

Sederhananya, peradilan pidana di Indonesia menerima praktik Amicus Curiae. Namun, pengaturan formil mengenai Amicus Curiae masih sangat umum yakni berpegang pada Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Artinya praktik ini dikategorikan sebagai informasi yang mendasari keyakinan hakim dalam sistem pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP. Pertanyaannya, apakah amicus curiae akan berperan besar dalam keputusan siding MK di 22 April?

Penggunaan praktik ini tentu diharapkan tidak hanya persoalan kepentingan. Seperti diketahui, sidang MK hari ini berkaitan dengan sengketa Pilpres 2024, yang kental nuansa politik. Terlibatnya Megawati, dan akan diikuti pendukung Prabowo-Gibran seakan menggambarkan pertarungan politik masih berlangsung. Bedanya, kali ini berlangsung lewat medan Mahkamah Konstitusi. Menarik memang menyaksikan dinamika politik yang tak kunjung berhenti. Seperti halnya air, yang bentuknya tetap mampu menyeseuaikan bentuk dari wadahnya. Termasuk di ruang-ruang hukum yang bertujuan menjamin kepastian.

Dinamika jelang keputusan MK terkait sengketa Pilpres 2024 memang semakin berwarna dengan adanya praktik amicus curiae. Terlepas apakah hal tersebut akan memberikan dampak signifikan atau tidak atas keputusan yang akan diambil hakim MK. Kita berharap, apapun keputusannya nanti, akan dapat diterima dengan baik sebagai sebuah hasil atas kepastian hukum di Indonesia.