Dampak Ketegangan Iran-Israel Bagi Perekonomian Indonesia

ilustrasi - Jika ketegangan meningkat karena serangan Iran ke Israel, harga BBM di Indonesia dikhawatirkan meroket. (foto:gemapos/pertamina
ilustrasi - Jika ketegangan meningkat karena serangan Iran ke Israel, harga BBM di Indonesia dikhawatirkan meroket. (foto:gemapos/pertamina

Gemapos.ID (Jakarta) - Peningkatan eskalasi konflik di Timur Tengah sempat memicu kekhawatiran, terutama pasca serangan Iran kepada Israel, sabtu (13/4) malam lalu. Konflik tersebut sempat membuat harga minyak dunia melambung tinggi. Pertanyaannya, bagaimana dengan dampaknya terhadap kondisi Indonesia?

Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, pertikaian ini tak akan berdampak besar karena ketegangan bakal berangsur turun.

“Dampak (situasi) ketidakpastian (di tengah konflik) yang bisa kita rasakan secara langsung adalah harga minyak dunia, tapi ini tidak akan berlangsung lama,” ujar Fithra kepada BBC News Indonesia dikutip Selasa (16/4/2024).

Senada, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Poppy Sulistyaning Winanti, juga melihat dampak ekonomi baru akan terlihat secara signifikan jika Israel memutuskan untuk menyerang balik Iran.

Meski demikian, Fithra dan Poppy tak menutup kemungkinan situasi dapat berubah drastis jika Israel tiba-tiba memutuskan menggempur Iran. Jika terjadi, perekonomian Indonesia akan terkena imbasnya.

Konflik diprediksi membaik

Sejak awal, para pengamat memprediksi ketegangan tak akan meningkat terlalu tajam karena Iran sudah memberi tahu Israel dan sekutunya, Amerika Serikat, bahwa mereka akan melakukan serangan.

Alhasil, Israel sudah lebih siap menghadapi serangan. AS, Inggris, Prancis, dan Yordania pun langsung membantu menghalau lebih dari 300 drone dan rudal yang ditembakkan Iran ke Israel.

Beberapa pengamat menganggap Iran sudah memperhitungkan agar serangan ini tak berdampak terlalu signifikan.

Menurut mereka, Iran hanya ingin “menyelamatkan muka” setelah Israel menyerang kantor konsulat mereka di Suriah pada 1 April.

“Tujuannya adalah untuk menunjukkan kapabilitas mereka, tapi tak menyebabkan peningkatan ketegangan,” ujar pengamat yang pernah menjadi penasihat kebijakan luar negeri beberapa perdana menteri Inggris, Tom Fletcher, kepada BBC.

 

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menganggap saat ini para pihak yang ada di pusaran konflik tersebut memahami bahwa mereka terjebak di situasi “Mexican standoff”.

Istilah itu biasa dipakai untuk merujuk pada situasi ketika para pihak yang terlibat dalam satu konflik mengetahui posisi mereka sama-sama kuat dan saling terancam.

Dalam kondisi seperti ini, tak ada strategi yang bisa membuat salah satu pihak menang. Jika satu saja dari mereka menyerang, bisa jadi bumerang untuk diri sendiri dan memicu konflik lebih besar.

“Mereka sebenarnya sudah saling tahu bahwa di belakang Iran ada Rusia dan China. Iran juga tahu bahwa di belakang Israel ada Amerika Serikat dan NATO,” tutur Fithra.

Poppy Sulistyaning Winanti juga menganggap kecil kemungkinan Israel menyerang balik, apalagi Iran diduga memiliki senjata nuklir.

“Dari kacamata hubungan internasional, kepemilikan senjata nuklir itu menjadi sesuatu yang penting dalam mencegah pihak lain untuk melakukan balasan atas tindakan mereka,” ucapnya. (ns)