Dilema Transportasi di Masa Transisi
Kebijakan membolehkan ojek daring lebih menguat karena kepentingan politis dan bisnis dengan mengabaikan kepentingan kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Pengemudi dijadikan dalih pendapatan minim akan membantu kesejahteraannya. Jika suatu saat ada yang tertular melalui aktivitas ojek daring, bisa jadi masyarakat sipil akan menuntut instansi yang membolehkan dan yang mengusulkan. Pengemudi itu memang tidak takut mati (pengakuan pengemudi ojek daring), namun mereka takut akan penularan virus korona dari penumpang yang tidak taat aturan protokol kesehatan. Sakitnya itu yang ditakuti sebagian pengemudi ojek daring. Pemerintah telah menerbitkna PM Perhubungan nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Pasal 11 © menyatakan sepeda motor untuk tujuan melayani kepentingan masyarakat dan untuk kepentingan pribadi, dapat mengangkut penumpang dengan ketentuan harus memenuhi protocol kesehatan (1) aktivitas lain yang diperbolehkan selama Pembatasan Sosial Berskala Besar, (2) melakukan disinfeksi kendaraan dan perlengkapan sebelum dan setelah selesai digunakan, (3) menggunakan masker dan sarung tangan, dan (4) tidak berkendara jika sedang mengalami suhu badan di atas normal atau sakit. Mengatur pola kegiatan Transportasi adalah kebutuhan turunan dari suatu kegiatan (derived demand). Saat ini sumber permasalahan bukan di sektor transportasinya namun pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya. Kebijakan mengelola kegiatan harus ditambahkan untuk membantu mengurangi mobilitas. Caranya, mengatur pola kerja work from home (WFH) dan work from office (WFC) dapat dipadukan, penjadwalan jam kerja, atau menambah kapasitas bus antar jemput di kementerian, lembaga pemerintah dan BUMN dapat dilakukan. Menyediakan angkutan bagi karyawan/pegawai bekerjasama dengan perusahaan transportasi umum dapat membantu bisnis perusahaan transportasi umum yang sedang alami menuju titik nadir bisnisnya. Yang rasional sebenarnya adalah agar bagaimana aktifitas atau kegiatan publik pada masa new normal dapat dikendalikan intensitasnya tidak sama seperti pada massa sebelum pandemi. Hal ini sebenarnya yang menjadi substansi utama dari Keputusan Menteri Kesehatan terkait pedoman untuk masa new normal. Namun seberapa paham dan konsisten publik terhadap ketentuan ini? Jadi seharusnya masa new normal tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemi. Yang masih bisa work from home (WFH) ya semestinya tetap WFH atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor. Sektor yang menuntut pekerja harus datang ke tempat kerja, perlu diatur jadwal kerjanya sehingga bervariasi pergerakan orangnya, tidak menumpuk pada jam yang sama seperti masa sebelum pandemi. Kalau mau sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan dapat menyediakan sendiri kebutuhan angkutan untuk para karyawannya, agar terjamin protokol kesehatan terutama physicall distancing. Agar pada saat penerapan new normal khususnya di Jabodetabek tidak timbul kekacauan di sektor transportasi. Sebab sumber permasalahan bukan di sektor transportasinya namun pada bagaimana pengaturan kegiatan manusianya. Gugus Tugas Percepatan Penangnan Covid-19 dapat meminta Kementerian Penertiban Aparatur Negara menetapkan pola kerja Aparatur Sipil Negara (ASN), Kementerian Negar BUMN menetapkan pola kerja pegawai BUMN dan Kementerian Tenga Kerja menenetapkan pola kerja karyawan perusahaan swasta. Penerapan kebiasaan baru (new normal) di sektor transportasi darat syarat kepentingan. Kepentingan politis dan bisnis lebih menguat ketimbang kesehatan dan kesejahteraan rakyat. Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyaratakatan MTI Pusat