Kenapa Article 6 Gagal Disepakati Di COP 25?
Sementara beberapa posisi yang sangat berbeda seperti Brasil yang menginginkan adanya carried over atau membawa karbon kredit CDM nya pada mekanisme pasar baru di implementasi Perjanjian Paris semakin mempersulit tercapainya kesepakatan. Usulan Brasil untuk membawa karbon kredit dari kegiatan CDM kemudian didukung oleh beberapa negara lain termasuk Australia. Usulan untuk membawa karbon kredit dari era Kesepakatan Kyoto ke implementasi Kesepakatan Paris ini sangat dikhawatirkan akan mengurangi target global untuk pengurangan emisi. Ratusan juta bahkan milyaran ton setara CO2 karbon kredit ini sebenarnya berasal dari proyek-proyek yang sudah diimplementasikan, tetapi hasil pengurangan emisinya masih berlaku. Hal ini akan menyebabkan tidak ada kegiatan baru untuk penurunan emisi, sementara yang terjadi adalah jual beli karbon kredit untuk proyek-proyek yang sebenarnya sudah bertahun-tahun lalu diimplementasikan. Dan seperti diketahui, akhirnya kesepakatan tidak bisa dilakukan karena ganjalan article 6 karena diperparah oleh aturan main di UNFCCC sendiri yang berprinsip “nothing is agreed until everything is agreed”, yang artinya mutlak semuanya harus disepakati dulu, atau tidak ada kesepakatan. Tidak dikenal mekanisme pemungutan suara atau voting dalam perundingan UNFCCC, termasuk dalam hal ini. Dan semua negara memiliki hanya satu suara, satu negara tidak setuju maka seluruh kesepakatan tidak bisa disetujui. Selain itu keluarnya secara resmi Amerika Serikat dari Kesepakatan Paris yang baru akan bisa secara resmi dilakukan pada tahun depan, juga mengakibatkan perubahan pada peta geopolitik perundingan. Amerika Serikat adalah negara pengemisi terbesar nomor dua di dunia, sementara negara pengemisi nomor satu di dunia, China, juga mendukung usulan Brasil. Akumulasi dari hal-hal di atas, dan beberapa faktor lain, termasuk efek kelelahan para juru runding karena perundingan tanpa kenal jam selama 2 minggu, adalah penyebab kegagalan perundingan. Apa kemudian yang harus dilakukan Indonesia? Kegagalan disepakatinya Paris Rulebook atau Buku Aturan Paris karena perundingan article 6 deadlock tidak lantas membuat kegiatan yang sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan seluruh kalangan di Indonesia lantas kemudian berhenti. Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Kita sudah memiliki target pengurangan emisi yang jelas, kebijakan domestik yang jelas, bahkan perencanaan pembangunan jangka panjang pun mengarah pada pertumbuhan rendah karbon. Artinya sebenarnya kita mempunyai modal untuk melakukan pengurangan emisi secara nasional dengan target sendiri dan menggunakan sumber daya sendiri. Bahkan mekanisme berbasis pasar karbon pun kemudian akan bisa kita bangun sendiri secara domestik untuk pembiayaan pengurangan emisi. Yang kemudian akan menjadi kekurangan adalah apabila kita membutuhkan pembiayaan dari pihak luar untuk kegiatan pengurangan emisi, terutama apabila kegiatan tersebut secara spesifik akan dipakai untuk pencapaian target NDC. Baik model pembiayaan berbasis pasar maupun pasar secara internasional tidak akan bisa dilakukan karena belum disepakatinya article 6 sebagai landasan hokum utamanya. Termasuk juga yang kemudian belum tersedia adalah kesepakatan dan petunjuk untuk mekanisme dasar untuk metodologi, standar, pengukuran, pelaporan, dan verifikasi. Akibatnya adalah bantuan yang selama ini diharapkan untuk kegiatan pengurangan emisi dari pasar karbon internasional gagal dilakukan. Indonesia kemudian untuk sementara harus bertumpu pada kemampuan dan kemandirian nasional dalam pengurangan emisi gas rumah kaca untuk bisa mencapai target pengurangan emisi nasional. Apakah bisa? Tentu saja bisa, walau mungkin tidak secepat dengan bantuan internasional. Indonesia bahkan bisa memulai untuk membangun pasar karbon domestik, yang pada satu saat akan bisa diintegrasikan dengan pasar karbon internasional. Atau Indonesia juga bisa membangun sistem pajak karbon yang mengharuskan para pengemisi untuk membayar pajak kepada pemerintah, sekaligus sebagai sumber pendapatan baru di sektor pajak. Dan hasilnya secara langsung akan bisa digunakan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan energi, membantu pengembangan energi terbarukan, mengatasi pencemaran lingkungan, membangun lagi hutan-hutan yang mampu menyerap karbon dioksida, dan banyak hal bermanfaat lain. Hasil terbesar tentu saja adalah membaiknya kualitas lingkungan dan berkurangnya bencana iklim guna masa depan anak cucu kita. Apabila kemudian negara-negara yang lain melakukan hal yang sama, maka walau pun kesepakatan internasional masih berproses, kegiatan domestik sudah menunjukkan hasil. Siapa lagi kalau bukan kita yang harus melakukan, kapan lagi kalau bukan sekarang melakukannya, dan dimana lagi kalau bukan di negeri tercinta ini melakukannya. Pada akhirnya kita dan anak cucu kita yang akan mendapatkan hasilnya apabila kita lakukan sekarang. Bukit Golf, 16 Desember 2019 menjelang tengah malam Dicky Edwin Hindarto Penulis adalah Koordinator Jejaring Indonesai Rendah Emisi (JIRE) dan Advisor Joint Crediting Mechanism (JCM), kerjasama bilateral Indonesia-Jepang dalam kegiatan rendah karbon