Yayasan Madani Sebut Tata Kelola Bahan Bakar Nabati Berkontribusi Selamatkan Hutan

Ilustrasi Penggunaan bahan bakar nabati (BBN)
Ilustrasi Penggunaan bahan bakar nabati (BBN)

Gemapos.ID (Jakarta) - Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan tata kelola bahan bakar nabati (BBN) nasional atau biofuel menjadi salah satu kontributor dalam penyelamatan hutan alam di Indonesia.

Hal itu disampikan Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad dalam peluncuran laporan sintesis bahan bakar nabati yang dipantau di Jakarta, Kamis (22/9/2022).

"Ini adalah cross-cutting issues antara transisi energi dan penurunan emisi di sektor hutan dan lahan," ujarnya.

Menurut Nadia, bahan bakar nabati telah melalui perjalanan cukup panjang di Indonesia sebelum akhirnya negara ini memiliki tingkat campuran BBN yang cukup tinggi hingga B40.

Sebelumnya, pada tahun 1990 sampai 2006 adalah periode awal pengembangan riset bahan bakar nabati di Indonesia. Lalu, sejak 2006 sampai 2009 muncul kebijakan yang mengatur pengembangan bahan bakar nabati untuk percepatan pengurangan kemiskinan.

Kemudian, terhitung sejak tahun 2011 sampai sekarang melalui Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), bahan bakar nabati masuk ke dalam energi baru terbarukan yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon dari sektor energi.

"Dalam perkembangannya, kebijakan BBN bertransformasi tidak hanya sebagai kebijakan untuk mengamankan ketahanan energi, namun juga sebagai strategi mitigasi iklim Indonesia," kata Nadia.

Sementara itu, Peneliti Yayasan Madani Berkelanjutan Kukuh Ugie Sembodho menuturkan bahwa bahan bakar nabati berpotensi meningkatkan penambahan lahan akibat pengembangan dan pemanfaatan biofuel di Indonesia.

Hal itu didasarkan pada produktivitas sawit yang berbeda, cara penghitungan yang berbeda, hingga pencampuran yang ingin dicapai juga berbeda.

Kemudian, tata kelola yang baik di sektor hulu dengan meningkatkan produksi kelapa sawit dari 2,7 ton per hektare menjadi 4-6 ton per hektare tidak memerlukan penambahan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit.

"Ketika kita bisa meningkatkan produktivitas tersebut, kita tidak perlu khawatir  akan ada tambahan lahan. Skenario itu dapat dicapai untuk memitigasi kemungkinan tambahan lahan," kata Kukuh.

Selain itu, saat ini pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang berupaya meningkatkan pemanfaatan bahan bakar nabati melalui program kilang hijau yang mengambil proyek percontohan di Cilacap, Jawa Tengah.

Sementara, dalam agenda Sustainable Development Goals tahun 2030, Indonesia menempatkan bahan bakar nabati untuk mencapai target karbon netral. Produksi dan penggunaan bahan bakar nabati yang berkelanjutan juga dapat memberikan berbagai manfaat sosial ekonomi.(ant/ra)