Melintasi Musim Serbawaspada

Bayangan seorang pengunjung memotret dengan gawai salinan tulisan "Zaman Gila" dalam pigura kaca di salah satu dinding Istana Gebang Kota Blitar, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. (ant)
Bayangan seorang pengunjung memotret dengan gawai salinan tulisan "Zaman Gila" dalam pigura kaca di salah satu dinding Istana Gebang Kota Blitar, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. (ant)

Di tembok dekat meja makan rumah keluarga Soekemi Soestrohardjo (1873--1945) di Istana Gebang Kota Blitar, Provinsi Jawa Timur, tergantung salinan tulisan tangan 10 baris berjudul "Zaman Gila" dalam pigura kaca.

Rumah di Jalan Sultan Agung Nomor 59 Kampung Gebang, Kecamatan Sananwetan, Kota Blitar, itu pada tahun 1917 pernah menjadi tempat tinggal Soekarno (Presiden pertama RI). Kala itu ia masih berumur 16 tahun. Ia tinggal di rumah tersebut bersama kedua orang tua dan seorang kakak perempuannya.

Oleh karena pernah menjadi rumah Presiden, bangunan di Dusun Gebang tersebut kemudian disebut sebagai Istana Gebang, dengan pengelolaan saat ini oleh Pemerintah Kota Blitar.

Selagi Agus, seorang pemandu bagi pengunjung Istana Gebang, bercerita tentang meja makan keluarga Soekemi (ayah Bung Karno) di rumah tersebut, sorot mata seorang yang dipandunya terpatri pada tulisan "Zaman Gila" itu. Ia lalu memotret tulisan tersebut dengan gawainya dan sang pemandu pun menjeda cerita.

Bagian baris bawah tulisan itu, tertera "Suatu catatan tentang buku kalatida oleh kamadjaya", tampaknya terkait dengan sejumlah baris tulisan di sampingnya dalam huruf Jawa berjudul terbaca "Sinom". Mungkin, yang terbaca "kamadjaya" merujuk kepada seorang jurnalis dan pengarang Indonesia pada masa lampau bernama Karkono Partokusumo (1915-2003). Nama penanya sejak 1937 adalah Kamadjaja.

Tulisan berjudul "Zaman Gila" di Istana Gebang itu kelihatannya bagian dari studi dijalani Kamadjaja terhadap Serat "Kalatidha", karya pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802--1873).

Mengutip secara bebas bagian karya pujangga tersebut yang hingga saat ini melekat dalam masyarakat Jawa tatkala menyikapi suatu keadaan tertentu, dengan mengungkapkan "Zaman edan, nek ora edan ora komanan" (Zaman gila kalau tidak ikut gila tidak kebagian).

Namun, dalam bagian akhir tulisan "Zaman Gila" juga tertera pesan tentang takdir bagi yang sadar dan waspada karena merekalah yang beroleh kebahagiaan.

Kesadaran masyarakat zaman sekarang untuk waspada, kiranya bukan sekadar karena saat ini sebagian besar wilayah Indonesia sedang puncak musim hujan yang rentan berdampak terhadap bencana alam. Kewaspadaan terhadap bencana alam untuk mencegah jatuh korban atau kerugian lainnya.


Berbagai perangkat pemerintahan, seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) secara berulang menyampaikan pentingnya masyarakat waspada bencana alam saat puncak musim hujan, baik karena cuaca ekstrem di daratan maupun lautan.

Dalam kaitan dengan keputusan politik pemerintah mencabut kebijakan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) karena penularan COVID-19 sudah cenderung melandai pun, mesti disertai dengan kewaspadaan warga terhadap kemungkinan terjadi lonjakan kasus penularan dahsyat, sebagaimana selama kurun 2020-2022.

Meskipun pemerintah mendaku berhasil mengendalikan penularan virus itu, Presiden Joko Widodo tetap mengingatkan pentingnya kesadaran masyarakat tetap menerapkan protokol kesehatan dan mengikuti program vaksinasi.

Disiplin prokes dan vaksinasi sebagai langkah konkret setiap warga dalam mewaspadai potensi penularan COVID-19 dengan varian dan subvariannya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga belum mencabut status pandemi global virus tersebut.

Keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atas kebutuhan mendesak guna mengantisipasi kondisi global, agaknya sebagai langkah waspada pula dalam menyikapi keadaan zaman ke depan ini yang seakan tidak menentu.

Namun, sejumlah kalangan mengkritisi perppu tersebut sebagai kontroversi. Polemik tentang hal itu menjadikan keadaan terasa gaduh, antara lain menyangkut kepatuhan terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya terkait dengan perppu itu dan kerugian yang bakal didera kalangan pekerja.

Selain itu, adanya penilaian tentang kecenderungan dominasi penggunaan tangan kekuasaan dalam menyikapi prakiraan buruk situasi global ke depan ini, antara lain dampak perang Ukraina-Rusia yang berkepanjangan, perubahan iklim global, krisis dunia menyangkut keuangan, pangan, serta energi.

Mungkin boleh dibilang juga bahwa perppu itu menjadi wujud kewaspadaan pemerintah terhadap ancaman krisis ekonomi dunia, upaya menjaga perekonomian dalam negeri agar tidak tumbang, dan mendorong investasi tetap positif di dalam negeri.

Begitu juga kiranya kewaspadaan perlu ditekankan dalam kaitan dengan persiapan Pemilu 2024. Memasuki tahun 2023, terasa makin hangat jagat perpolitikan negeri ini. Pemilu secara serentak untuk memilih presiden-wakil presiden dan pemilu legislatif rencananya pada tanggal 14 Februari 2024, untuk kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah secara serentak pula pada 27 November 2024. Mau tidak mau, tahun ini sebagai kurun waktu serbasibuk menyiapkannya.

Julukan lain untuk pemilu sebagai pesta demokrasi, namun praktiknya berupa kompetisi para kandidat dan partai politik dalam meraih kekuasaan menggunakan kendaraan sistem demokrasi dengan turunannya berbagai regulasi yang telah dibuat negara.

Kewaspadaan perlu dipatrikan untuk mencegah kompetisi pemilu agar tak mengejawantah menjadi perbenturan fisik masyarakat dan golongan karena perbedaan pilihan serta gangguan kamtibmas lainnya, atau bahkan terjadinya keterbelahan bangsa dan runtuhnya kewibawaan negeri berdaulat ini.

Kesadaran mengenakan sikap waspada dalam pemilu, baik oleh peserta, pemilik suara, maupun penyelenggara pemilihan, dengan melaksanakan berbagai tahapan secara tertib aturan sehingga pesta demokrasi lancar, aman, dan bermartabat.

Kepahitan pesta demokrasi akibat anarkisme massa dan perpecahaan bangsa, rasanya bisa dihindari sedini mungkin dengan memperkuat kewaspadaan bersama-sama terhadap risiko suatu kontestasi sehingga tidak membawa negeri ini berada dalam sergapan "zaman edan".

Terlebih, pemilu kali ini bukan penyelenggaraan yang pertama. Berbagai pengalaman historis pemilu-pemilu pada masa lalu dan penguatan pendidikan politik secara berkelanjutan melalui berbagai ragam cara, bisa menjadi pijakan untuk mengantarkan kemuliaan atas tujuan pesta demokrasi.

Kewaspadaan menjalankan musim hajatan pemilu 5 tahun sekali mesti dibawa kepada muara pesta pemilihan yang menggembirakan bagi para pemilik wajah kedewasaan politik berbangsa dan bernegara.

Rasanya, tahun ini memang musim serbawaspada untuk segala sektor kehidupan. Setiap langkah menyikapi keadaan dengan waspada ke depan ini, seperti perjalanan di ruang simetris irisan antara khawatir dan harapan.

Jikalau langkah waspada bukan hanya dikerjakan sepihak tetapi oleh semua elemen negeri secara simultan, optimistis saja bahwa musim segala waspada bisa dilewati hingga mencapai takdir bahagia.



Achmad Zaenal M